Argapura
- Yanti Hadiwijono
- Feb 5, 2018
- 3 min read

Argapura adalah kecamatan di Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat, Indonesia. Namanya identik dengan nama salah satu Gunung di Papua dan Jawa Timur. Namun sebenarnya tidak memiliki keterkaitan apa-apa. Argapura menurut arti gramatikal, dari kata "Arga" yang berarti Gunung dan "Pura" yang berarti Kota. Jadi bisa diartikan sebagai kota yang berada di daerah Pegunungan (eh benar tidak sih..?). Dengan ketinggian antara 800-1000 mdpl, Argapura memiliki hawa dan udara sejuk nan menyegarkan rongga paru-paru.
Destinasi wisata hits yang kekinian ini terletak tidak terlalu jauh dari pusat kota Majalengka, jaraknya hanya sekitar 20-22 km saja. Jika perjalanan lancar bisa ditempuh dalam waktu kurang dari 60 menit saja. Pesona keindahan Bukit Panyaweuyan Argapura Majalengka akan lebih menarik jika dikunjungi pada pagi hari sebelum matahari terbit atau saat sore hari saat matahari akan terbenam.
Walaupun akses transportasi dan jaringan telekomunikasi (tidak adanya sinyal bagi provider tertentu) sering dijadikan alasan sebagai penghambat pemberdayaan potensi ini, namun hal tersebut tidak menyurutkan niat dan semangat para pemburu sunrise (matahari terbit), pehobi fotografi aliran lanskap dan human interest, maupun penikmat pemandangan alam untuk tetap datang ke sana. Kebetulan karena sebagai pemakai provider yang sama, masalah jaringan telekomunikasi ini benar-benar saya dan pasangan rasakan begitu memasuki desa tempat Homestay kami tinggal. Jaringan telekomunikasi putus dan seketika kami merasa terputus dari dunia di luar Argapura. hehehe.. lebay ya?!
Tapi tidak perlu galau berlama-lama.. Betapa tidak, pesona terasering Argapura yang merupakan warisan leluhur begitu cantik dilihat, karena terasering ini sudah ada sejak ratusan tahun. Bahkan menurut penuturan warga setempat, yang mengelola lahan saat ini sudah generasi ketiga. Tak kalah dengan Vietnam atau Thailand. Majalengka memiliki pesona yang lebih indah dibandingkan dengan tempat-tempat lainnya di luar negeri. Bukit Panyaweuyan ini juga populer dengan sebutan bukit bintangnya Majalengka.

Alhamdulillah kami sebagai pehobi fotografi termasuk yang bisa menikmati keindahan tersebut. Berangkat Sabtu siang dari Jakarta dengan kendaraan pribadi, sekitar jam 8 malam kami tiba di Homestay tempat kami akan beristirahat sambil menunggu matahari terbit esoknya. Walaupun sempat salah jalan saat mengandalkan Google Map dan sempat menabrak pagar penduduk (psst.. yang ini sebetulnya rahasia.. hehe..), akhirnya kami berhasil tiba di desa Argalingga dengan diantarkan oleh penduduk lokal yang kebetulan lewat memakai sepeda motor saat kami memeriksa kondisi kendaraan dan pagar yang ditabrak.
Usai sholat Subuh esok hari, dengan menumpang 4 minibus kami para pehobi fotografi langsung menuju ke terasering Panyaweuyan, walaupun malamnya hujan sempat turun cukup deras namun kami yakin pagi itu cuaca akan cerah. Jalan menuju terasering ini berkelok-kelok dan naik-turun bukit yang cukup terjal. Jadi memang harus ekstra hati-hati jika membawa kendaraan sendiri. Apalagi jalur yang dilewati tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk 1 mobil dan 1 motor. Kalau bertemu mobil lain dari arah berlawanan, salah 1 ya harus mengalah. Hehe.. Namun sayang, sunrise yang kami tunggu tertutup awan mendung sisa semalam. Tapi kami masih tetap bisa menikmati dan merekam keindahan terasering yang cantik di sana dengan menggunakan kamera kami.
Kamera bisa diarahkan ke arah mata angin mana saja. Di bagian Barat mata akan dimanjakan dengan pesona keindahan lembah Cilongkrang yang menghijau nan segar. Sedangkan ke sebelah Timur, keperkasaan Gunung Cermai yang kokoh akan memanjakan mata yang melihat. Bahkan dari titik yang sama, bisa terlihat pemukiman penduduk di kaki Gunung Cermai dan pesona terasering yang memanjakan mata.
Tak akan habis-habisnya terdengar suara shutter kamera yang ditekan oleh para pehobi fotografi. Siapkan saja kapasitas penyimpanan memory yang lebih besar untuk menampung keindahan pesona terasering di Bukit Panyaweuyan Argapura Majalengka.
Uniknya, terasering ini tidak menanam padi, seperti di Ubud Bali. Mereka menanami lahan dengan daun bawang, bawang merah dan beberapa jenis sayur. Alasannya, daun bawang ini cepat sekali dipanen. Kalau bawang merah bisa memakan waktu 3 bulan, sedangkan daun bawang bisa dipanen 2 bulan sekali.

Ketika kami ke sana, beberapa petani pun asyik memanen daun bawang mereka. Ternyata daun bawang ini sudah laku dan terjual ke pedagang besar (tengkulak). Para tengkulak ini sudah membeli daun bawang sejak mereka ditanam. Sehingga harganya bisa lebih murah. Bagi para petani, yang penting mereka tidak merugi.
Saat cuaca mulai panas, sekitar pukul 9 pagi kami pindah ke warung-warung di sekitaran lokasi untuk menikmati sarapan dan para pilot drone pun mulai menyiapkan “pesawat”nya masing-masing untuk diterbangkan di sekitar lokasi, termasuk beliau…
Entah kapan kami bisa kembali lagi ke sana, tapi itu pasti :-)

Commenti