Tabula Rasa
- Yanti Hadiwijono
- Jul 31, 2017
- 2 min read
Sengaja saya memilih kata “tabula rasa” sebagai nama website ini, karena sebagai pemula dalam menulis saya ingin website ini menjadi suatu tabula rasa (Latin: "kertas kosong") yang bisa diisi oleh hal-hal yang saya alami. Sedikit saya tulis disini apa yang dimaksud sebenarnya dengan “tabula rasa”.
Tabula rasa dalam epistemologi (teori pengetahuan) dan psikologi, merupakan suatu kondisi yang dimiliki pikiran manusia sebelum gagasan/ide/pemikiran terbentuk di dalamnya melalui pengalaman (empiri) oleh reaksi indera ke dunia eksternal kebendaan. Oleh kebanyakan orang kondisi ini disebutkan terjadi pada fase anak-anak yang membutuhkan banyak informasi baik dari pendidikan formal/non-formal, pengalaman orangtua & keluarga, ataupun faktor luar lainnya sehingga pikiran mereka bisa memproses segala informasi yang diterimanya.
Perbandingan suatu pikiran dengan kertas kosong terjadi di De Anima Aristoteles (abad ke-4, On the Soul), kaum Stoic dan Peripatetika (siswa di Lyceum, sekolah yang didirikan oleh Aristoteles) kemudian mengemukakan sebuah keadaan awal dari Kekosongan Mental. Baik kaum Aristotelians maupun Stoic, menekankan kecakapan-kecakapan pikiran atau jiwa yang, karena hanya berpotensi sebelum menerima gagasan dari indera, merespon gagasan tersebut melalui proses intelektual dan mengubahnya menjadi pengetahuan.
Penekanan baru dan revolusioner pada tabula rasa terjadi di akhir abad ke-17, ketika ahli empiris berkebangsaan Inggris, John Locke, dalam An Essay Concerning Human Understanding (1689), mengemukakan kemiripan awal pikiran manusia dengan "kertas putih, tidak termasuk semua karakter," dengan "semua materi akal dan pengetahuan" berasal dari pengalaman. Tabula rasa mengatakan bahwa manusia yang baru dilahirkan itu dapat diumpamakan sebagai kertas putih yang belum ditulisi. Jadi, sejak lahir manusia itu tidak mempunyai bakat dan pembawaan apa-apa. Manusia dapat dibentuk oleh lingkungan sosialnya. Di sini kekuatan ada pada lingkungan yang berkuasa atas pembentukan perilaku bahkan kepribadian manusia. Dengan kata lain, adalah pengalaman yang mempengaruhi kepribadian, perilaku sosial dan emosional, serta kecerdasan seseorang. Ahli empiris Skotlandia abad 18 David Hume memiliki pandangan yang sama. Gagasan yang memenuhi syarat tentang tabula rasa tetap berpengaruh dalam filsafat Inggris dan kemudian Anglo-Amerika (analitik) sampai pertengahan abad ke-20.
Walaupun menurut Human Behavior in Social Environment (HBSE) kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Tapi menurut saya, faktor sosial lah yang sangat mempengaruhi. Maka dari itu, berhati-hatilah dengan orang-orang sekitar kita, karena mereka dapat menjadi anugerah atau musibah bagi kita. Oleh karena itu, di saat kita dalam proses meningkatkan resiliensi diri (kemampuan untuk beradaptasi dan tetap bertahan dalam situasi sulit) ada baiknya jika kita lebih berhati-hati dalam memilih teman apalagi sahabat. Karena pada dasarnya manusia ketika lahir berupa “kertas kosong”, maka berhati-hatilah dalam menjalin hubungan agar kita dapat memberikan corak terbaik pada “kertas kosong” yang kita miliki. Seperti yang sudah saya ceritakan dalam postingan saya sebelumnya :-)

Comments