Kuil Wat Pho di Bangkok, Thailand
- Yanti Hadiwijono
- Jul 18, 2017
- 7 min read
Akhir Juli tahun lalu, saya berkesempatan mengunjungi Bangkok untuk kedua kalinya. Kali ini saya menyusul sahabat saya sejak kecil yang sudah berangkat lebih dulu kesana untuk menghadiri training yang diadakan oleh perusahaannya. Tapi tentu saja saya tidak bermaksud untuk ikut hadir pada training perusahaan teman saya, saya hanya "menumpang tidur" dimana teman saya mendapat akomodasi dari perusahaannya. Pssstt.. yang ini jangan ditiru ya... :-)
Berangkat dijadwalkan dengan salah satu budget airline yang sudah sangat terkenal, tapi terkena 2x delay; delay yang pertama saya masih diberitahu via email (jadwalnya berangkat pukul 4.30 sore tapi diundur ke pukul 8 malam), begitu tiba di Bandara Soetta saat check-in petugas airline tersebut menginformasikan kembali bahwa penerbangan ditunda hingga waktu yang belum ditentukan. Setelah menghabiskan waktu berjalan-jalan di terminal 3 yang tidak terlalu besar dan memakan nasi box sebagai compliment dari airline atas keterlambatan pesawat, akhirnya kami para penumpang mendapat panggilan untuk naik ke pesawat.
Setelah menempuh penerbangan selama kurang-lebih 3,5 jam, tibalah kami di Don Mueang International Airport, yang merupakan bandara lama kota Bangkok sekitar pukul 2.30 pagi. Setelah melewati antrian imigrasi yang panjang dan lama, akhirnya menjelang Subuh saya baru bisa duduk nyaman di dalam limo yang sudah dibookingkan oleh sahabat saya yang baik hati itu, menuju hotel tempat dia menginap.
Setelah sarapan bersama-sama sebelum sahabat saya berangkat training, saya kembali ke kamar untuk melanjutkan istirahat saya yang kurang semalaman. Barulah siangnya saya mencoba untuk solo travelling ke tempat wisata terdekat. Dan saya menemukan tempat yang menarik untuk dijelajahi, Kuil Wat Pho. Dan beruntungnya saya karena dari hotel tempat kami menginap, untuk ke Wat Pho saya cukup berjalan kaki ke dermaga, untuk naik boat kesana.

Sungai Chao Phraya
Foto di atas saya ambil dari hotel tempat kami menginap yang kebetulan berada di tepi sungai Chao Phraya, saat sarapan. Meskipun langit suram karena cuaca mendung, namun pemandangan sekitar masih terlihat baik. Terlihat di kejauhan, pembangunan MahaNakhon (Gedung Lego) masih dalam proses.
Wisatawan di Bangkok dapat mengambil tur sungai dengan boat atau kapal pesiar, tergantung pada kenyamanan individu. Saya lebih memilih naik Chao Phraya Express Boat; setelah jam sibuk di pagi hari, kapal datang setiap 20 menit sampai sekitar pukul 4 sore. Ada pilihan lain yang lebih nyaman yaitu "Tourist Boat", meskipun datang setiap 30 menit. Jam operasional dari pukul 6 pagi hingga 7.30 malam. Harga tiket: THB 10-15, meskipun bisa juga mencapai THB 30 jika perjalanannya jauh di jam sibuk. Tarif akan lebih mahal pada jam sibuk, begitu pun jadwal kedatangan kapal. Namun pada jam sibuk, jumlah kapal yang beroperasi juga semakin banyak.
Setiap pemberhentian boat ditandai dengan nomor. Kalau ingin ke Kuil Wat Pho kita bisa turun di N8 dermaga Than Thien, tapi karena saya "malu" bertanya akhirnya saya salah turun di 2 dermaga sebelumnya dan harus berjalan lumayan jauh ke Wat Pho. Pheeewww...
Berikut adalah foto-foto yang saya capture disana dan cerita mengenai Kuil Wat Pho. Tadddaaaaaaaa...
Sejarah
Wat Pho adalah salah satu kuil tertua di Bangkok. Kuil ini ada sebelum Bangkok dijadikan sebagai ibukota oleh Raja Rama I. Pada awalnya bernama Wat Photaram atau Podharam, sebagai asal kata Wat Pho. Kuil yang lebih tua diperkirakan telah dibangun atau diperluas beberapa waktu selama masa pemerintahan Raja Phetracha (1688-1703) dari masa Ayuthaya bahkan pada sebuah situs kuil sebelumnya yang pendirinya tidak dikenal. Setelah jatuhnya Ayutthaya ke Burma, Raja Taksin memindahkan ibukota ke Thonburi dimana dia menempatkan istananya di samping Wat Arun di seberang sungai dari Wat Pho, dan kedekatan Wat Pho ke istana kerajaan ini mengangkat statusnya menjadi wat luang (biara kerajaan).
Pada tahun 1782, Raja Rama I memindahkan ibukota dari Thonburi menyeberangi sungai ke Bangkok dan membangun Grand Palace yang berdekatan dengan Wat Pho. Pada tahun 1788, dia memerintahkan pembangunan dan renovasi di lokasi kuil lama Wat Pho yang pada saat itu sudah rusak. Situs yang berawa dan tidak rata, dikeringkan dan diisi sebelum konstruksi dimulai. Selama pembangunannya, Rama I juga memprakarsai sebuah proyek untuk menghapus arca Buddha dari kuil-kuil yang ditinggalkan di Ayutthaya, Sukhothai, dan juga situs-situs lain di Thailand, dan banyak arca-arca tersebut yang disimpan di Wat Pho. Termasuk sisa-sisa arca Buddha yang sangat besar dari Ayuthaya Wat Phra Si Sanphet yang dihancurkan oleh Burma pada tahun 1767, dan dimasukkan ke dalam sebuah chedi di kompleks tersebut. Pembangunan kembali membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikannya. Pada tahun 1801, 12 tahun setelah pekerjaan dimulai, kompleks kuil yang baru dinamai Phra Chetuphon Vimolmangklavas mengacu pada wihara Jetavana, dan ini menjadi kuil utama bagi Rama I.
Kompleks ini mengalami perubahan signifikan dalam 260 tahun ke depan, terutama pada masa pemerintahan Rama III (1824-1851 M). Pada tahun 1832, Raja Rama III mulai merenovasi dan memperbesar kompleks kuil, sebuah proses yang membutuhkan waktu 16 tahun 7 bulan untuk menyelesaikannya. Dasar kompleks kuil diperluas hingga 22 hektar, dan sebagian besar bangunan yang sekarang ada di Wat Pho dibangun atau dibangun-ulang pada periode ini, termasuk kapel dari Reclining Buddha. Dia juga mengubah kompleks kuil menjadi pusat pembelajaran umum dengan mendekorasi dinding bangunan dengan diagram dan prasasti berbagai mata pelajaran. Pada tanggal 21 Februari 2008, ilustrasi dan prasasti marmer ini terdaftar dalam Memori Program Dunia diluncurkan oleh UNESCO untuk mempromosikan, melestarikan dan menyebarluaskan warisan dunia. Wat Pho dianggap sebagai universitas pertama di Thailand dan merupakan pusat pijat tradisional Thailand. Kuil ini berfungsi sebagai pusat pengajaran kedokteran pada pertengahan abad ke-19 sebelum munculnya pengobatan modern, dan kuil tersebut tetap menjadi pusat pengobatan tradisional saat ini dimana sebuah sekolah swasta untuk pengobatan Thailand yang didirikan pada tahun 1957 dan masih beroperasi hingga hari ini.
Nama kompleks itu diubah lagi menjadi Wat Phra Chetuphon Vimolmangklararm pada masa pemerintahan Raja Rama IV. Terlepas dari pembangunan chedi terbesar keempat dan modifikasi kecil oleh Rama IV, belum ada perubahan signifikan pada Wat Pho sejak saat itu. Pekerjaan perbaikan, adalah proses yang terus berlanjut, sering didanai oleh para pemuja kuil. Kuil ini dipulihkan kembali pada tahun 1982 sebelum Perayaan Bicentennial Bangkok.

Salah 1 pintu untuk memasuki area dalam Kuil Wat Pho
Kompleks Kuil
Wat Pho merupakan salah satu seni & arsitektur kuil Thailand terbesar dan tertua di Bangkok dengan luas 50 rai (80.000 m2) dan menjadi rumah bagi lebih dari seribu arca Buddha, serta salah satu dari arca Buddha terbesar dengan panjang 150 kaki (46 m). Kompleks Wat Pho terdiri dari dua kompleks berdinding yang dipisahkan oleh Chetuphon Road dari arah timur ke barat. Kompleks berdinding utara yang lebih besar, phutthawat, adalah bagian yang terbuka bagi pengunjung dan berisi bangunan terbaik yang didedikasikan untuk Sang Buddha, termasuk bot dengan 4 wihara di keempat sudutnya, dan Reclining Buddha terdapat di dalam kuil ini. Kompleks selatan, sankhawat, merupakan tempat tinggal para biarawan dan terdapat sebuah sekolah. Dinding perimeter kompleks kuil utama memiliki 16 gerbang, 2 di antaranya berfungsi sebagai pintu masuk untuk umum (satu di Jalan Chetuphon, yang lain di dekat sudut barat laut).
Area kuil berisi 91 chedi kecil (stupa atau gundukan), 4 chedi besar, 2 arsitektur menara lonceng, bot (kuil tengah), sejumlah wihara dan bangunan lainnya seperti paviliun, taman dan museum kuil kecil. Secara arsitektural chedi dan bangunan di kompleks berbeda dalam gaya dan ukuran.
Phra Ubosot
Phra Ubosot (Phra Uposatha) adalah ruang pentahbisan, aula utama yang digunakan untuk melakukan ritual Buddha, dan merupakan bangunan paling suci di kompleks ini. Dibangun oleh Raja Rama I dengan gaya Ayuthaya, dan kemudian diperbesar dan direkonstruksi dengan gaya Rattanakosin oleh Rama III. Bot itu didedikasikan pada tahun 1791, sebelum pembangunan-ulang Wat Pho selesai. Bangunan ini dibangun di atas panggung marmer, dan ubosot terletak di tengah halaman yang diliputi oleh sebuah teras ganda (Phra Rabiang).

Interior Phra Ubosot
Di dalam ubosot terdapat alas bertingkat emas dan kristal bertingkat 3 dengan Sang Buddha menangkupkan kedua tangan yang terbuat dari campuran tembaga dan emas, dan di atas patung itu ada payung 9 tingkat yang mewakili otoritas Thailand. Arca Buddha, yang dikenal sebagai Phra Buddha Theva Patimakorn dan dianggap berasal dari masa Ayutthaya, dipindahkan ke sini oleh Rama I dari Wat Sala Si Na (sekarang disebut Wat Khuhasawa) di Thonburi. Rama IV kemudian menaruh abu jenazah Rama I di bawah alas duduk arca Buddha sehingga masyarakat dapat memberi penghormatan kepada Rama I dan Sang Buddha pada saat bersamaan. Ada juga 10 arca murid Buddha di aula, Moggalana di sebelah kiri, Sariputta di sebelah kanannya, dan 8 Arahat di bagian bawah.
Langkan eksterior yang mengelilingi aula utama memiliki sekitar 150 pengarcaan berupa batu epik, yang disebut Ramakien, yaitu pesan utama yang melampaui dari dimensi sekuler hingga spiritual. Panel batu tersebut ditemukan dari sebuah kuil di Ayuthaya. Ubosot ditutup oleh dinding rendah yang disebut kamphaeng kaew, yang diselingi oleh gerbang yang dijaga oleh singa mitologis, serta 8 struktur yang menjadi tempat penandaan batu bai sema yang menggambarkan ruang suci bot.
Phra Rabiang
Serambi ganda ini berisi sekitar 400 arca Buddha dari Thailand bagian utara yang terpilih dari 1.200 dan dibawa oleh Raja Rama I. Dari arca-arca Buddha ini, 150 terletak di sisi dalam serambi ganda dan 244 lainnya di sisi luar. Arca-arca tersebut, ada yang posisi berdiri dan beberapa duduk, dipasang secara merata pada alas kaki yang disepuh emas. Arca-arca ini berasal dari periode yang berbeda, seperti Chiangsaen, Sukhothai, U-Thong, dan Ayutthaya, namun direnovasi oleh Rama I dan ditutup dengan plesteran dan daun emas agar terlihat serupa.

Arca Buddha di dalam biara yang berpotongan dengan 4 wihara, 1 di setiap arah

Arca Buddha dalam posisi duduk
Phra Rabiang berpotongan dengan 4 wihara. Wihara di sebelah timur berisi Buddha berdiri setinggi 8 m, Buddha Lokanatha, yang berasal dari Ayutthaya. Di ruang depannya adalah Buddha Maravichai, duduk di bawah pohon bodhi, yang berasal dari Sawankhalok pada akhir periode Sukhothai. Di sebelah barat terdapat Buddha duduk terlindungi oleh naga, Buddha Chinnasri, sementara Sang Buddha di selatan, Buddha Chinnaraja, memiliki 5 murid yang duduk di hadapannya seolah-olah mendengarkan khotbah pertamanya. Kedua Buddha dibawa dari Sukhothai oleh Rama I. Sang Buddha di wihara utara yang disebut Buddha Palilai dibuat pada masa pemerintahan Rama I. Wihara di sebelah barat berisi sebuah museum kecil.
Phra Prang
Ada 4 menara, atau phra prang, di setiap sudut halaman di sekitar bot. Masing-masing menara itu dilapisi dengan marmer dan berisi 4 patung bergaya Khmer yang merupakan dewa penjaga Empat Poin Kardinal.

Phra Prang di salah satu sudut
Phra Chedi Rai
Di luar biara Phra Rabiang dihiasi banyak chedi kecil, yang disebut Phra Chedi Rai. Tujuh puluh satu dari chedi kecil ini dibangun oleh Rama III, masing-masing setinggi 5 m. Ada juga 4 kelompok yang terdiri dari 5 chedi berbaris yang dibangun oleh Rama I, 1 kelompok di setiap sudut di luar biara. 71 chedi berukuran lebih kecil mengandung abu keluarga kerajaan, dan 20 chedi yang berukuran sedikit lebih besar berkerumun dalam 5 kelompok berisi relik Buddha.

Phra Chedi Rai yang berisi abu jenazah anggota keluarga kerajaan
Comments