FOTOGRAFI DALAM PANDANGAN ISLAM
- Yanti Hadiwijono
- Jul 18, 2017
- 6 min read
Baru-baru ini komunitas fotografi dimana saya tergabung ramai membicarakan status seseorang yang mengatakan bahwa fotografi haram hukumnya. Nah, dari hasil beberapa komentar yang menyisipkan link-link bahwa fotografi hukumnya mubah, akhirnya saya berhasil mengumpulkan data mengenai penemu kamera pertama di dunia yang ternyata kelahiran dan berdarah Arab Muslim.
Berikut kisahnya…
Abu ‘Ali Al-Hasan bin Ibnu Haytham - Penemu Kamera Pertama di Dunia

Abu ‘Ali Al-Hasan bin Al-Haytham, Ilmuwan kebanyakan menyebut dengan Ibnu Al-Haytham atau Ibnu Haytham atau juga Al-Hazen. Beliau lahir di Basra, Iraq pada tahun 965 M, dikenal sebagai Polymath, yaitu istilah yang diberikan kepada mereka yang menguasai berbagai bidang ilmu. Beliaulah Muslim Timur Tengah yang menemukan kamera pertama di dunia.
Bapak fisika modern itu dikenal jenius sejak kecil, Ia menempuh pendidikan pertamanya di tanah kelahirannya. Beranjak dewasa ia merintis kariernya sebagai pegawai pemerintah di Basrah. Namun, Ibnu Haytham lebih tertarik untuk menimba ilmu daripada menjadi pegawai pemerintahan. Setelah itu, ia merantau ke Ahwaz dan kotametropolis intelektual dunia saat itu yakni kota Baghdad. Di kedua kota itu ia menimba beragam ilmu. Gairah keilmuannya yang tinggi membawanya mengembara hingga ke Mesir.
Ilmuan yang digelari sebagai “First Scientist” menciptakan penemuannya yang sangat fenomenal ini pada tahun 1020 M di Al-Azhar Mesir. Dan 19 tahun setelah penemuannya itu beliau meninggal dunia di kota yang sama, Mesir pada tahu 1039 M.
Ibnu Haytham sempat mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar yang didirikan Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah itu, secara otodidak belajar secara mandiri hingga menguasai beragam disiplin ilmu seperti ilmu falak, matematika, geometri, pengobatan, fisika dan filsafat. Namun secara serius dia mengkaji dan mempelajari seluk-beluk ilmu optik. Beragam teori tentang ilmu optik telah dilahirkan dan dicetuskannya. Dialah orang pertama yang menulis dan menemukan pelbagai data penting mengenai cahaya. Konon, dia telah menulis tak kurang dari 200 judul buku. Sayangnya, hanya sedikit yang tersisa.
Salah satunya yang paling masyhur ialah Kitab al-Manazhir, orang-orang barat menyebutnya dengan “The Optics”, tidak diketahui lagi keberadaannya. Orang hanya bisa mempelajari terjemahannya yang ditulis dalam bahasa latin. The Optics yang menyimpan banyak teori-teori ilmu tentang cahaya dan lensa juga penglihatan ini banyak dipakai di Universitas-Universitas Eropa dan bahkan menjadi materi wajib di banyak kampus di negeri Eropa.
Ini juga menjadi sanggahan bagi mereka yang selalu menyangka bahwa Islam adalah agama yang mundur dan terbelakang, tidak mendukung ilmu dan sains. Tapi sejarah mengatakan sebaliknya.
Untuk membuktikan teori-teori dalam bukunya itu, sang fisikawan Muslim legendaris itu bersama Kamaluddin al-Farisi lalu menyusun Al-Bayt Al-Muzlim atau lebih dikenal dengan sebutan kamera obscura, atau kamar gelap.Mahakarya Ibnu Haytham yang paling monumental merupakan penemuan yang sangat inspiratif yang dilakukan al-Haytham. Penemuan itu berawal ketika keduanya mempelajari fenomena gerhana matahari.
Berasal dari bahasa Arab yakni kata “Qumroh (qamara)” yang berarti Bulan, kata “kamera” yang digunakan saat ini. Qumroh pertama itu ialah sebuah kamar kecil yang semua sudutnya tertutup rapat tak ada cahaya sekali, hanya ada lubang kecil didepannya. Dan dengan lubang itu cahaya akan masuk kemudian menyimpan bayangan yang terbayang masuk oleh cahaya kedalam qumroh yang didalamnya sudah disediakan media untuk menyimpan bayangan tersebut. Jadi ibarat bulan, ia bersinar ditengah kegelapan. Pun demikian qumroh yang gelap kemudian ada cahaya kecil yang masuk kedalamnya dan menyimpan obyek yang terbawa oleh cahaya tersebut.
Kajian ilmu optik berupa kamera obscura itulah yang mendasari kinerja kamera yang saat ini digunakan umat manusia. Oleh kamus Webster, fenomena ini secara harfiah diartikan sebagai ”ruang gelap”.
Sejarah telah menjadi saksi bahwa Islam adalah agama yang mendukung penuh majunya ilu dan teknologi. Tercatat banyak ilmuan-ilmuan yang muncul dari kalangan Muslim di berbagai bidang Ilmu. Ibnu Haytham hanya salah satunya.
Setelah penemuan Fenomenal Ibnu Haytham ini, dunia barat mulai terinspirasi dan diperkenalkan pada abad 16M, berturut-turut ilmuwan barat terinspirasi oleh penemuan al-Haitham yaitu Cardano Geronimo (1501 -1576), yang terpengaruh pemikiran al-Haitham mulai mengganti lobang bidik lensa dengan lensa (camera). Giovanni Batista della Porta (1535-1615 M). Johannes Kepler (1571 – 1630 M). Kepler meningkatkan fungsi kamera itu dengan menggunakan lensa negatif di belakang lensa positif, sehingga dapat memperbesar proyeksi gambar (prinsip digunakan dalam dunia lensa foto jarak jauh modern).
Setelah itu, Robert Boyle (1627-1691 M), mulai menyusun kamera yang berbentuk kecil, tanpa kabel, jenisnya kotak kamera obscura pada 1665 M. Setelah 900 tahun dari penemuan al-Haitham pelat-pelat foto pertama kali digunakan secara permanen untuk menangkap gambar yang dihasilkan oleh kamera obscura. Foto permanen pertama diambil oleh Joseph Nicephore Niepce di Prancis pada 1827. Tahun 1855, Roger Fenton menggunakan plat kaca negatif untuk mengambil gambar dari tentara Inggris selama Perang Crimean dan mengembangkan plat-plat dalam perjalanan kamar gelapnya yang dikonversi gerbong. Kemudian pada tahun 1888, George Eastman mengembangkan prinsip kerja kamera obscura ciptaan Ibnu Haytham dengan baik sekali. Eastman menciptakan kamera kodak. Sejak itulah, kamera terus berubah mengikuti perkembangan teknologi.
Beberapa buah buku lain mengenai cahaya yang ditulisnya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, antara lain Light dan On Twilight Phenomena. Kajiannya banyak membahas mengenai senja dan lingkaran cahaya di sekitar bulan dan matahari serta bayang-bayang dan gerhana.
Menurut Ibnu Haytham, cahaya fajar bermula apabila matahari berada di garis 19 derajat di ufuk timur. Warna merah pada senja pula akan hilang apabila matahari berada di garis 19 derajat ufuk barat. Dalam kajiannya, dia juga telah berhasil menghasilkan kedudukan cahaya seperti bias cahaya dan pembalikan cahaya.
Ibnu Haytham juga turut melakukan percobaan terhadap kaca yang dibakar, dan dari situ ditemukanlah teori lensa pembesar. Teori itu telah digunakan oleh para ilmuwan di Italia untuk menghasilkan kaca pembesar yang pertama di dunia.
Yang lebih menakjubkan ialah Ibnu Haytham telah menemui prinsip isi padu udara sebelum seorang ilmuwan yang bernama Trricella yang mengetahui perkara itu 500 tahun kemudian. Ibnu Haytham juga telah menemukan kewujudan tarikan gravitasi sebelum Issac Newton mengetahuinya. Selain itu, teori Ibnu Haytham mengenai jiwa manusia sebagai satu rentetan perasaan yang bersambung-sambung secara teratur telah memberikan ilham kepada ilmuwan barat untuk menghasilkan wayang gambar. Teori dia telah membawa kepada penemuan film yang kemudiannya disambung-sambung dan dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa kini.
Selain sains, Ibnu Haytham juga banyak menulis mengenai falsafah, logika, metafisika, dan persoalan yang berkaitan dengan keagamaan. Ia turut menulis ulasan dan ringkasan terhadap karya-karya sarjana terdahulu.
Penulisan falsafahnya banyak tertumpu kepada aspek kebenaran dalam masalah yang menjadi pertikaian. Padanya pertikaian dan pertelingkahan mengenai sesuatu perkara berpunca daripada pendekatan yang digunakan dalam mengenalinya.
Dia juga berpendapat bahawa kebenaran hanyalah satu. Oleh sebab itu semua dakwaan kebenaran wajar diragui dalam menilai semua pandangan yang sedia ada. Jadi, pandangannya mengenai falsafah amat menarik untuk disoroti.
Bagi Ibnu Haytham, falsafah tidak boleh dipisahkan daripada matematik, sains, dan ketuhanan. Ketiga-tiga bidang dan cabang ilmu ini harus dikuasai dan untuk menguasainya seseorang itu perlu menggunakan waktu mudanya dengan sepenuhnya. Apabila umur semakin meningkat, kekuatan fisik dan mental akan turut mengalami kemerosotan.
Ibnu Haytham membuktikan bahwa ia bergairah mencari dan mendalami ilmu pengetahuan pada usia mudanya, sehingga dia berhasil menulis banyak buku dan makalah. Di antara buku hasil karyanya:
Al-Jami' fi Ushulul Hisab yang mengandungi teori-teori ilmu metametik dan metametik penganalisaannya;
At-Tahlil wat Takrib mengenai ilmu geometri;
Kitab Tahlilul Masa'ilul Adadiyah tentang aljabar;
Maqalah fi Istikhraj Simatul Qiblah yang mengupas tentang arah kiblat bagi segenap rantau;
Maqalah fima Tad'u llaih mengenai penggunaan geometri dalam urusan hukum syarak dan
Risalah fi Sina'atusy Syi'r mengenai teknik penulisan puisi.
Sumbangan Ibnu Haytham kepada ilmu sains dan filsafat amat banyak. Karena itulah Ibnu Haytham dikenal sebagai seorang yang miskin dari segi material tetapi kaya dengan ilmu pengetahuan. Beberapa pandangan dan pendapatnya masih relevan hingga saat ini.
Menurut Jumhur Ulama Mutaakhirin
Sedangkan menurut jumhur ulama mutaakhirin (masa kini) seperti Syekh Bakhit Muthi’i, Syekh Jadul Haq Ali Jadul haq, Syekh Ali Al-Sais, Syekh Yusuf al-Qardhawi, Syekh Mutawalli sya’rawi, Syekh Ramadhan al-Bouty dan Syekh Ali Jumah bahwa hukum fotografi adalah mubah (boleh) selama tidak menyimpang dari syariat Islam. Mereka rata-rata berpendapat bahwa fotografi bukanlah tashwir (menggambar) seperti yang diharamkan dalam hadits. Proses fotografi merupakan rekaman bayangan dan lebih menyerupai dengan video.
Syekh Ali al-Sais mengibaratkan foto yang dihasilkan oleh media fotografi seperti seorang yang berdiri di depan cermin lalu cermin tersebut memantulkan sebuah gambar. Apakah gambar yang dipantulkan oleh cermin tersebut bisa dikatakan sebuah gambar yang dilukiskan oleh seseorang? Tentunya tidak. Demikianlah cara kerja sebuah kamera yang menyerupai cara kerja cermin dalam memantulkan gambar.
Muti Mesir masa dahulu, yaitu Al ‘Allamah Syekh Muhammad Bakhit Al Muthi’I (1856-1935) di dalam fatwanya yang berjudul Al Jawabul Kaafi fi Ibahaatit Tashwiiril Futughrafi berpendapat bahwa fotografi itu hukumnya mubah. Beliau berpendapat bahwa pada hakikatnya fotografi tidak termasuk ke dalam aktivitas mencipta sebagaimana disinyalir hadits dengan kalimat “yakhluqu kakhalqi” (menciptakan seperti ciptaan-Ku), tetapi foto itu hanya menahan bayangan. Lebih tepatnya, fotografi ini diistilahkan dengan “pemantulan”, karena ia memantulkan bayangan. Dalam bukunya Al Halal wal Haram, Syekh Yusuf Al Qaradhawi mengatakan bahwa fotografi tidak terlarang dengan syarat objeknya adalah halal. Dengan demikian, tidak boleh memotret wanita telanjang atau hampir telanjang, atau memotret pemandangan yang dilarang syara’. Tetapi jika memotret objek-objek yang tidak dilarang, seperti teman atau anak-anak, pemandangan alam, ketika resepsi, atau lainnya, maka hal itu dibolehkan.
Kemudian, lanjut Syekh Al Qaradhawi, ada pula kondisi-kondisi tertentu yang tergolong darurat sehingga memperbolehkan fotografi meski terhadap orang-orang yang diagungkan sekalipun, seperti untuk urusan kepegawaian, paspor, atau foto. Ketika ditanya soal hukum fotografi, Syekh Mutawalli Sya’rawi juga mengatakan bahwa gambar fotografi itu tidak apa-apa apalagi kalau ia tidak dikonfigurasi dan jauh dari modulasi bentuk aslinya. Singkatnya, gambar yang dihasilkan lewat proses fotografi atau kamera hukumnya mubah (boleh). Asalkan, objek fotonya adalah sesuatu yang tidak terlarang.
Referensi:
Wikipedia.org
The Arab Imago: A Social History of Portrait Photography, 1860-1910
Fatwa-fatwa Kontemporer: Dr. Yusuf Qardhawi, Gema Insani Press
Комментарии